Hari kedua ujian nasional, sudah banyak kasus kecurangan yang terjadi di seluruh Indonesia. Kerja sama, contekan, sms jawaban, sampai pada jual beli soal. Apa yang sebenarnya terjadi? Sesulit itukah berjuang dengan jujur? Atau, karena begitu mudahnya melakukan suatu kebohongan?
Aku pun juga pernah berada di posisi mereka. Mereka yang saat ini tengah dilanda ketakutan, kebimbangan, bahkan keputusasaan. Sehingga mereka lebih memilih gang sempit yang penuh dengan sampah, sebagai jalan terakhir. Saat itu, ingin rasanya diri ini ikut bergabung dengan mereka yang tengah menyalin kunci jawaban di beberapa bagian tubuhnya. Bisa juga disalin di sebuah kertas kecil yang nantinya akan diselipkan di tempat-tempat tertentu. Tapi apa? Tubuh ini tidak menginginkan hal itu. Tubuh seakan berontak, meminta otak dan akal sehatku berpikir rasional.
Sejujurnya, aku juga merasa tidak adil. Ketika mereka bisa mendapatkan apa yang aku dan mereka sangat inginkan. Mereka bisa bahagia. Bisa tertawa lepas. Bahkan menganggap biasa, hal buruk yang telah mereka lakukan. Dengan sombong, dipamerkannya nilai-nilai tinggi itu. Di banggakannya di depan banyak orang, termasuk kedua orang tua mereka. Padahal, nilai itu bukanlah nilai mereka. Keberhasilan yang tidak nyata, karena suatu kebohongan.
Untuk apa membuang waktu tiga tahun sekolah, kalau di akhir bisa lulus tanpa menggunakan hasil dari pembelajaran itu. Sia-sia orang tua kita membiayai pendidikan yang tidak murah, kalau akhirnya kita tidak menghargai jerih payah mereka. Kita tidak menggunakan ilmu yang telah kita dapatkan. Ilmu yang telah terbayarkan oleh rupiah-rupiah keringat orang tua kita. Ilmu yang selalu diselingi dengan doa-doa ayah dan ibu didalam sujudnya. Apakah itu yang namanya keberhasilan?
Sekarang, ketika segala kecurangan dan kebohongan itu terkuak, bisakah kita mengelak? Ya, tentu bisa. Toh bagi mereka, yang terpenting adalah nilai. Masalah harga diri, nama sekolah, perasaan guru dan orang tua, hanyalah efek samping yang bisa diatasi. Tapi tahukah? Bahwa apa yang telah mereka lakukan, bisa menyakiti orang lain. Sekolah mendapatkan kesan negatif, guru akan sangat menyesal, orang tua akan dipenuhi kekecewaan dan rasa sakit, serta orang-orang yang telah mendukungmu akan sangat merasa malu.
Aku menangisi kalian, wahai generasi penerus kejayaan Negara. Apa yang telah kalian lakukan? Ujian ini memang sangatlah membebani. Tapi kalian seharusnya, terlalu kuat untuk diberi tekanan semacam itu. Kalian seharusnya bisa lebih yakin akan kemampuan kalian. Untuk apa membuang uang sebanyak itu hanya demi kebohongan? Untuk shodaqoh ke fakir miskin saja kalian tak sempat. Padahal, balasannya sangatlah berharga. Tapi untuk membeli sebuah kecurangan dengan uang yang besar, kalian rela. Kalian rela untuk berdosa. Kalian rela mengorbankan segalanya untuk sebuah kehancuran.
Yakinlah pada diri kalian, bahwa kalian telah siap. Kalian mampu menghadapi ujian ini. Kami, teman, keluarga, dan kekasihmu, selalu berada di sekitarmu. Mendorong dari belakang dengan motivasi, menggandeng tangan dari samping untuk selalu menemani, dan membantumu menggantungkan harapan di depan matamu.
Tulisan ini, dibuat bukan karena naif, bukan pula karena munafik.
Tapi semata-mata karena keberhasilan yang haqiqi.